Media Online Milik Gereja Kemah Injil KINGMI Papua

Sabtu, 26 Maret 2011

"Press Release Se-Tahun Perjalanan Fordem"

“SETAHUN FORUM DEMOKRASI RAKYAT PAPUA BERSATU (FORDEM) MEMPERJUANGKAN MARTABAT RAKYAT ASLI PAPUA”

Hari ini, 25 Maret 2011 Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FORDEM) genap berumur satu (1) tahun. Jika sejenak kita kilas balik sejarah hadirnya FORDEM bukanlah secara kebetulan atau sekedar ikut-ikutan membentuk kelompok.

Sesungguhnya FORDEM had...ir karena keprihatinan terhadap Orang Asli Papua dalam konteks Otonomi Khusus. Ketika sudah sembilan tahun Otsus berjalan (2010), ternyata harapan dari kehadiran OTSUS untuk melindungi (protection), memberdayakan (empowering), dan keberpihakan (affirmative action), bagaikan jauh panggang dari api. Kata dan janji-janji yang bagai menghipnotis orang Papua sehingga Orang Papua yang tadinya bermimpi hidup di sorga alias akan datang zaman sejahtera, bahagia, damai sejahtera, dan sebagainya itu, ternyata menyadari bahwa hampir 10 tahun orang Papua dininabobokan oleh janji-janji ‘kosong’ Otsus.

Salah satu hal yang menjadi pemicu hadirnya FORDEM ketika itu adalah masalah SK 14/MRP/2009, dimana diharapkan agar gubernur/wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota di seluruh Tanah Papua adalah Orang Asli Papua. SK ini meskipun oleh pemerintah dianggap illegal alias tidak sah karena MRP bukan lembaga legislasi dan tidak mempunyai wewenang membuat peraturan. Namun keputusan MRP tersebut sangat dinantikan dan didukung penuh oleh Orang Asli Papua. Karena dalam SK tersebut sebenarnya memberi pesan tentang upaya untuk memproteksi dan berpihak terhadap Orang Asli Papua di dalam pemerintahan lokal di era Otsus Papua. Anak-anak Papua yang menghadirkan FORDEM ketika itu, mengusung issue utama, “MENEGAKKAN HARKAT DAN MARTABAT ORANG ASLI PAPUA”.

FORDEM sadar bahwa jika benar-benar bangsa ini menghargai harkat dan martabat suku bangsa lain yang hidup di Negara Kesatuan ini, seperti yang sering digembar-gemborkan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, maka inilah saatnya untuk memberikan kesempatan kepada Orang Papua agar tampil menjadi TUAN di negeri-nya. Ini sangat beralasan karena di daerah-daerah lain di Indonesia ternyata yang menjadi pemimpin (bupati/wakil bupati/walikota/wakil walikota) umumnya merupakan orang asli di daerah tersebut. Kenapa mereka bisa menjadi pemimpin di daerahnya sendiri??? (ini pertanyaan menarik dan jawabannya sederhana saja, karena memang suku bangsa itu mayoritas di daerahnya). Berbeda dengan situasi di Tanah Papua yang mana secara statistik terutama di daerah-daerah perkotaan, jumlah penduduk asli ternyata sudah lebih sedikit dibanding penduduk pendatang (kaum migrant) dari luar Papua. Dalam kondisi inilah FORDEM hadir untuk melihat bahwa jika kompetisi ini tidak dibatasi, maka nyaris menjadi kekalahan bagi Penduduk Asli Papua.

Dalam keprihatinan terhadap masa depan anak negeri Papua inilah, setelah perjuangan DPRP ke Jakarta untuk bertemu dengan pemerintah Pusat guna memperjuangkan SK 14/MRP/2009 itu gagal dan pulang dengan tangan hampa karena tidak ada niat pemerintah pusat untuk mengakomodir SK dimaksud. Orang Papua ketika itu menjadi sangat kecewa, maka atas desakan masyarakat FORDEM bersama dengan sejumlah elemen gerakan masyarakat Papua lain, MRP sebagai representasi kultural Orang Asli Papua yang diatur di dalam UU Otsus, diminta mengadakan Musyawarah dengan Orang Asli Papua pada 9-10 Juni 2010 guna menilai perjalanan Otsus, apakah sudah menjawab hak-hak dasar Rakyat Asli Papua. Hasil Musyawarah itu kemudian diantarkan ke DPRP sebagai bagian dari aspirasi rakyat Papua sebagai wujud KEGAGALAN Otsus di Tanah papua.

Jadi sesungguhnya kehadiran FORDEM adalah bagian dari rasa peduli terhadap demokrasi di tengah-tengah Otsus yang tercabik-cabik. Orang Papua akhirnya mengembalikan OTSUS kepada pemerintah Pusat dan meminta dialog dan referendum. Ini artinya bahwa orang papua benar-benar merasa kecewa dengan Otonomi khusus yang tadinya dibilang jembatan emas, ternyata menjadi “jembatan gantung” untuk menggantung nasib Orang Papua menjadi tambah tak menentu.

Hingga kini FORDEM bersama rakyat Papua masih menunggu jawaban Pemerintah Pusat melalui DPRP dan Pemerintah Provinsi Papua, mengenai 11 tuntutan yang diantarkan oleh Puluhan ribu orang Papua pada tanggal, 18 Juni dan 8-9 Juli 2010 dengan berjalan kaki dari Abepura hingga ke kantor DPRP di Jayapura. Adapun Hasil MUBES MRP yang diserahkan ke DPRP terdiri dari 11 point yakni :

1. Bahwa UU Otsus dikembalikan kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia;

2. Bahwa Rakyat Papua menuntut dilakukannya “DIALOG” yang dimediasi oleh Pihak Internasional.

3. Bahwa Rakyat Papua menuntut dilakukannya “REFERENDUM”menuju pembebasan Politik.

4. Bahwa Rakyat Papua menuntut Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk mengakui dan mengembalikan Kedaulatan Bangsa Papua Barat yang telah diproklamirkan pada tanggal 1 Desemeber 1961;

5. Bahwa Rakyat Papua mendesak Dunia Internasional untuk melakukan Embargo Bantuan Internasional dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua;

6. Bahwa dipandang tidak perlu melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat Jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Nomor 21 Tahun 2001, karena telah terbukti GAGAL.

7. Bahwa seluruh proses Pemilukada Kabupaten/Kota se –Tanah papua dihentikan, serta menyerukan kepada Gubernur Papua dan Papua Barat, DPRP, DPRD Papua Barat, Bupati, Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota di seluruh Tanah Papua untuk segera menghentikan penyaluran dana dalam rangka pelaksanaan Pemilukada.

8. Bahwa Pemerintah Pusat, Provinsi Papua dan Papua Barat serta seluruh Kabupaten/Kota se–Tanah Papua harus menghentikan program transmigrasi dari luar Papua serta melakukan pengawasan ketat terhadap arus migrasi penduduk dari luar Tanah Papua.

9. Bahwa Rakyat Papua mendesak Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP serta pemerintah Provinsi Papua Barat dan DPRD Papua Barat untuk melakukan Pembebasan terhadap Tapol/Napol Papua yang ada di LembagA Pemasyarakatan di Seluruh Indonesia.

10. Bahwa Pemerintah Pusat dengan segera melakukan Demiliterisasi di seluruh Tanah Papua.

11. Bahwa Musyawarah MRP dan Masyarakat asli Papua mendorong untuk PT. Freeport Indonesia segera ditutup.



FORDEM menilai inilah seruan hati Orang Papua di Tanah Papua ini, oleh sebab itu jangan lagi ada upaya pemerintah pusat untuk menghindar dari tuntutan tersebut dan mau membujuk dengan sejumlah konsep pembangunan lain lagi semacam UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat) yang sedang disiasati Jakarta untuk menjalankan Otsus Papua yang sebenarnya sudah gagal dan ditolak rakyat Papua. Termasuk pula memaksakan pemilihan dan pelantikan anggota Majelis Rakyat Papua jilid 2. Sikap bungkam dan menghindar pemerintah pusat terhadap suara rakyat Papua ini kami pandang sebagai sikap pemerintah yang tidak demokratis dan sama sekali tidak menjamin Hak Hidup Orang Asli Papua di atas tanahnya sendiri. Oleh karena itu, FORDEM tetap menuntut pemerintah menjawab 11 rekomendasi Musyawarah MRP-Rakyat Asli Papua, pemerintah tidak memaksakan pemberlakuan UP4B dan pelantikan MRP jilid 2.

Kerja FORDEM selama satu tahun ini, selain memperjuangkan suara rakyat Papua melalui penggalangan aksi demonstrasi massa secara BERMARTABAT, DAMAI, TANPA KEKERASAN, mendorong dilaksanakannya Musyawarah MRP-Rakyat Asli Papua, FORDEM juga memulai tradisi baru dengan memberikan penghargaan “Orang Asli Papua” kepada orang luar yang telah lama berjuang bersama-sama Orang Papua, ikut mendalami sejarah pahit Bangsa Papua di dalam penindasan panjang ini.

Belajar dari satu tahun perjalanan ini, FORDEM akan terus maju dalam memperjuangkan tegakknya harga diri Bangsa Papua di atas tanah airnya sendiri, bersama-sama komponen perjuangan rakyat Papua lainnya.



Demikian pernyataan pers ini dibuat untuk memperingati HUT FORDEM yang ke-1. Tuhan memberkati Rakyat dan Tanah Papua.

Jayapura, Kamis, 24 Maret 2011


Hormat kami,


Minggus Pigai, MA                  Salmon Maurits Yumame, SE, MM

Benyamin Gurik                       Pdt. S. Titihalawa, S.Si, Theol.

Pdt. Markus Iyai, S.Th             Naftali Edoway, SH

Frederika Korain, SH              Marten Agapa

Kamis, 24 Maret 2011

Fordem: Perjuangan Menegakkan Martabat OAP Tak Berakhir

Thursday, 24 March 2011 23:01
Written by Victor Mambor

JUBI --- Pendiri dan Anggota Forum Demokrasi  (Fordem) Papua Bersatu, Dominggus Pigai menilai, Fordem di Papua tetap eksis dalam perjuangan menegakkan hak-hak Orang Papua di atas tanahnya. "Jalannya kebijakan pemerintah di Papua tetap dipantau oleh Fordem untuk melihat keberpihakannya terhadap Orang Asli Papua, (OAP),” ujar Pigai, Kamis (24/3) di Jayapura. Dia menilai, lahirnya Fordem di Papua disebabkan karena adanya Salah satu hal yang menjadi pemicu hadirnya Fordem diantaranya adalah masalah SK 14/MRP/2009 tentang pemimpin birokrasi dari tingkat gubernur bupati hingga walikota serta wakil-wakilnya di seluruh Tanah Papua adalah OAP.

“Dengan salah satu dasar itu, Fordem melihat sejauh mana kebijakan tersebut diterapkan di Papua,” tegasnya.

Menurutnya, Fordem merasa prihatin terhadap masa depan anak Negeri Papua setelah perjuangan DPRP ke Jakarta untuk bertemu dengan Pemerintah Pusat guna memperpanjang SK 14/MRP/2009 itu gagal dan pulang dengan tangan hampa karena tidak ada niat Pemerintah Pusat untuk mengakomodir SK tersebut. Namun atas desakan Fordem, lanjutnya, bersama dengan sejumlah elemen gerakan Masyarakat Papua lain, MRP sebagai representasi kulturan OAP yang diatur dalam UU Otsus, diminta mengadakan musyawarah dengan OAP pada Tanggal 9-10 Juni  2010 lalu guna menilai perjalanan Otsus.

"Sehingga dengan demikian Fordem dapat melihat apakah penerapan demokrasi di Papua dapat menjamin hak-hak dasar OAP atau tidak,” imbuhnya.

Dijelaskan, kehadiran Fordem adalah bagian dari rasa peduli terhadap demokrasi di tengah-tengah Otsus.

“Sama halnya dengan perjuangan OAP dalam mengembalikan Otsus yang gagal, Fordem akan tetap mengambil bagian dalam proses perjuangan ini karena perjuangan Fordem dalam menegakkan martabat OAP tak pernah berakhir,” tutupnya. (Karolus)

Sumber: www.tabloidjubi.com

PN Jayapura Tidak Independen Dalam Kasus Sengketa Gereja

KBR68H, Jayapura – Pengadilan Negeri Jayapura dinilai tidak konsisten dalam menjalankan keputusan Mahkamah Agung terkait perebutan aset antara Gereja Kemah Injil (KINGMI) Tanah Papua dengan Gereja Kemah Injil Indonesia wilayah Papua. Ketua Sinode Gereja KINGMI Tanah Papua Pendeta Benny Giay mengatakan, MA sudah menolak gugatan Gereja Kemah Injil Indonesia. Namun, Pengadilan Negeri Jayapura mengabaikan keputusan MA. Bahkan, PN Jayapura menilai kedua belah pihak sama-sama berhak atas asset yang disengketakan tersebut.

Menurut kami sangat subjektif tidak Obyektif karna dalam suatu perkara, harus satu menang dan harus satu kalah, tp kami tidak mengerti apa pertimbangan di balik pernyataan Pengandilan negri Jayapura yang mengatakan bahwa dua dua menang, itu sangat tidak mungkin sehingga kami sudah mengundang penasehat hukum untuk membaca dan memberi menjelasan kepada kami dan kami akan bawah ke pengandilan lagi.

Ketua Sinode Kingmi Papua Pdt. Benny Giay manambahkan, Pengadilan Negri Jayapura seharusnya menjadi lembaga pengadilan yang netral dan tidak membela pihak-pihak tertentu. Sengketa aset antara antara Gereja Kemah Injil (KINGMI) Tanah Papua dengan Gereja Kemah Injil Indonesia wilayah Papua terjadi sejak 2008. Aset yang diperebutkan adalah tanah dan bangunan. Pada 2009, kasus ini diajukan ke MA. Pada 13 Januari 2011, MA memenangkan Gereja Kemah Injil (KINGMI) Tanah Papua dalam sengketa asset tersebut.

Natan Pigai (www.kbr68h.com)

Rabu, 23 Maret 2011

DEMO KOALISI RAKYAT PAPUA BERSATU UNTUK KEADILAN TANGGAL 22 MARET 2011


(Segera Kembalikan Otsus plus MRP, Tolak UP4B dan Jawab 11 Rekomendasi Mubes)

 “Stop pelantikan MRP karena tidak berpihak kepada maayarakat Papua. MRP hanya memihak kepada penguasa di negara ini. DPRP dan DPR Papua Barat segera mengelar sidang istimewa penolakan pelantikan MRP dan Gubernur Papua dan Papua Barat jangan pertahankan Otsus lagi”, ujar Selvius Bobii saat berorasi di depan pertokoan Abepura.  
Setelah massa dari Expo dan Uncen tiba, sekitar jam 12.00 kami menaiki truk menuju Jayapura di bawah pengawalan ketat aparat kepolisian. Ada sekitar 15 buah truk yang kami gunakan. Sasaran aksi kami yang pertama adalah DPRP lalu menuju ke kantor Gubernur. Disepanjang  jalan kami menerikan yel-yel “ otsus gagal, tolak UP4B, jawab 11 rekomendasi hasil Mubes dan sesekali meneriakan Papua Merdeka”.
Kami tiba di Jayapura pukul 13.20 WPB. Di DPRP kami disambut oleh beberapa anggota dewan---Yulius Miagoni, Amal Sale, Pdt.Charles Simaremare, ibu Ina Kudiyai dan Ananias Pigai. Setelah berorasi beberapa saat, kami lalu meminta mereka (anggota DPRP) ikut bersama kami menuju kantor gubernur sesuai janji mereka tanggal 8 Maret 2011.  
Dari kantor DPRP kami bersama para wakil rakyat long march ke kantor Gubernur. Kami tiba disana sekitar pukul 15.15 WPB. Sambil menunggu wakil gubernur, para perwakilan massa menyampaikan orasi-orasinya. Benyamin Gurik (Kabidhumas BEM Uncen) dalam orasinya mengajak kami semua (pemuda dan mahasiswa) supaya tetap semangat memperjuangkan aspirasi rakyat. Ia juga mengecam demo yang dilakukan LMA buatan pemerintah tanggal 18 Maret 2011 lalu yang mendesak pemerintah segera melantik anggota MRP Jilid II.  Lanjutnya, demo itu dilakukan untuk mengalihkan isu rakyat Papua menolak Otsus dan MRP yang selama ini disuarakan oleh berbagai elemen gerakan pro demokrasi di Papua. Mengakhiri orasinya, Ben menyampaikan bahwa kebijakan apa pun oleh pemerintah NKRI tidak akan bisa memajukan orang Papua, sehingga kami akan tetap menolak. Orasi-orasi lainnya yang disampaikan oleh perwakilan rakyat dari berbagai elemen meminta agar pihak legislatif dan ekskutif untuk segera pulangkan Otsus yang sudah dinyatakan gagal oleh rakyat, tapi juga yang kegagalannya diakui oleh berbagai komponen organisasi di Indonesia tapi juga oleh menteri dalam negeri dan para diplomat asing beberapa waktu lalu kepada para pimpinan gereja Papua saat memperjuangkan aspirasi rakyat di Jakarta, terutama tanggal 20 Februari 2011 melalui forum resmi yang dilakukan oleh DPD-RI di bawah tema “ Menyelamatkan Keberlangsungan Otsus di Papua”. Terkait hal itu Selvius Bobii mengkritisi bahwa yang mau diselamtkan itu Undang-Undangnya bukan orang asli Papua. Mereka juga menolak UP4B yang sedang dirancang di Jakarta untuk diterapkan di Papua pasca Otsus dinyatakan gagal oleh rakyat Papua. Karena UP4B itu dinilai sebagai Unit Percepatan Pembunuhan dan Pemusnahan Rakyat Papua Barat (Sorong sampai Merauke).
Setelah berorasi sekitar setengah jam, wakil Gubernur Papua Alex Hesegem, SE turun dan menemui kami. Sebelum selvius membacakan pernyataan sikap rakyat, ia memberikan kesempatan kepada para anggota DPRP untuk menyampaikan alasan mengapa mereka ikut mengantar aspirasi rakyat bersama-sama. Yulius Miagoni, Sekertaris Komis A DPRP menyampaiakan bahwa DPRP sudah bosan terus didemo oleh rakyat, kami sudah beberapa kali memperjuangkan aspirasi rakyat ke Jakarta (termasuk SK No.14 MRP tahun 2010 dan Permohonan Judicial Review pasal 7 Otsus) namun Jakarta tidak menanggapi  serius, kami justru distigma anggota DPRP separatis. Itulah sebabnya kami membawa aspirasi ini bersama rakyat supaya pihak eksekutif melanjutkan keinginan rakyat ini kepada pemerintah pusat. Ia juga mengatakan bahwa Undang-Undang Otsus saat ini berada pada posisi yang lemah.
Setelah itu Selvius Bobii membacakan pernyataan sikap rakyat di depan wakil Gubernur Propinsi Papua. Isi pernyataan sikap itu meminta pemerintah Propinsi Papua segera mengembalikan Undang-Undang Otsus kepada pemerintah Indonesia karena telah gagal dilaksanakan di Papua, menolak Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) karena dinilai bahwa unit itu mau dihadirkan untuk mempercepat pembunuhan dan pemusnahan penduduk Asli Papua Barat, meminta pemerintah pusat agar segera menjawab 11 rekomendasi hasil Mubes MRP bersama rakyat Papua pertengahan tahun lalu, dan segera gelar dialog yang dimediasi pihak ketiga yang netral. 
Forkorus Yeboisembut, Ketua DAP saat diberi kesempatan untuk menyampaikan pikirannya sebelum apirasi itu diserahkan kepada wakil Gubenur Papua, menyampaikan bahwa tugas dari lembaga yang dipimpinnya yakni menjaga tanah dan manusia Papua dari kerusakan dan pemusnahan. Oleh karena itu, ia atas nama rakyat dan tanah Papua meminta supaya gubernur dan wakil gubernur melanjutkan aspirasi rakyat itu kepada pemerintah Pusat. Ia juga berpesan supaya jangan takut, sebab Tuhan Allah Bangsa Papua akan menyertai.
Akhirnya, pernyataan sikap itu diserahkan oleh mama Yosepin Gewap kepada Wakil Gubernur Papua sambil mengatakan: “ Dengan nama Bapa, Firman dan Roh Kudus saya menyerahkan aspirasi ini, tolong disampaikan kepada pemerintah Pusat, di Jakarta”.  Wakil Gubernur menerima aspirasi itu dengan mengucapkan: “ dengan nama Bapa, Putra dan Roh Kudus, saya menerima aspirasi ini”. Setelah itu beliau mengatakan bahwa perjuangan yang dilakukan rakyat itu benar dan tidak salah. Ia berjanji, aspirasi itu akan dibahas di tingkat pimpinan pemerintah propinsi termasuk TNI/Polri lebih dulu, lalu akan disampaikan ke Jakarta.  Ia meminta kepada rakyat supaya tidak meragukan pihaknya. Mengakhiri tanggapannya, ia mengatakan bahwa “ kami pemerintah Propinsi Papua akan mengantar aspirasi ini ke Pemerintah Pusat, kami tidak takut terhadap situasi apapun yang akan terjadi nantinya”.
Setelah memberikan deadline waktu hingga 4 April,  kami lalu berdoa dan membubarkan diri.

Naftali Edoway

DEMO KOALISI RAKYAT PAPUA BERSATU UNTUK KEADILAN TANGGAL 8 MARET 2011


(Segera Kembalikan Otsus dan MRP ke Jakarta)

 “Pemerintah pusat yang memaksakan kehendaknya untuk mempertahankan Undang-Undang Otsus dengan cara melantik MRP Jilid II justru akan memperbesar masalah di Papua. Memperpanjang Otsus akan melahirkan dan menambah kejahatan terhadap orang Papua. Buktinya, selama 10 tahun Otsus diberlakukan di Papua, pelanggaran HAM semakin tinggi bahkan terjadi operasi terselubung melalui miras dan HIV/AIDS. Oleh karena itu kami menilai bahwa Otsus adalah lambang kejahatan kemanusiaan di Papua karena gagal mengangkat harkat dan martabat serta gagal melindungi orang asli Papua”, demikian kata-kata Selvius Bobii, saat menyampaikan aspirasi rakyat Papua di halaman kantor Gubernur Propinsi Papua.
Sementara itu, Asisten I Setda Propinsi Papua, Drs.Eliezer Renmaur yang menemui kami (Gubernur saat itu berada di Jakarta) menyampaikan bahwa aspirasinya akan disampaikannya kepada gubernur.
Setelah mendengar arahan itu, sekitar pukul 15.30 WPB, kami (ratusan masa pendemo) yang bergabung diri dalam Koalisi Bersama Rakyat Papua Bersatu untuk Keadilan (KRPBK), melanjutkan aksi kami ke DPRP Propinsi Papua. Dari kantor gubernur kami melakukan long march. Di DPRP kami disambut oleh Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda, Ketua Komisi A Ruben Magai, Ketua Fraksi Pikiran Rakyat Yan Mandenas, dll.
Di depan anggota DPRP, Selvius Bobii mewakili kami menyampaikan bahwa rakyat Papua sudah muak dengan suguhan program Otsus yang tidak pernah memberikan manfaat bagi orang asli Papua. Oleh sebab itu, Otsus harus segera dicabut berikut MRP, karena sudah tidak layak diterapkan di Papua lagi.
Menanggapi aspirasi kami itu, ketua I DPRP Yunus Wonda menyampaikan bahwa aspirasi rakyat itu akan disampikan kepada pemerintah pusat sesuai mekanisme yang ada. Menanggapi pemilihan dan pelantikan anggota MRP Jilid II, Yunus Wonda dengan tegas mengatakan bahwa tidak boleh ada pelantikan dulu, karena banyak persoalan di Papua yang belum diselesaikan, termasuk proses perekrutan anggota MRP itu sendiri. Setelah mendengar penjelasan itu, kami menuntut supaya ada MoU antara kami (rakyat) dan DPRP yang isinya, janji DPRP untuk segera mengelar sidang istimewa guna melahirkan keputusan hukum mengembalikan UU Otsus Papua. Hal itu kami tuntut sebab selama ini kami melihat DPRP bekerja seperti kurir--bolak-balik Jakarta membawa aspirasi kami (rakyat), namun tak pernah ada jawaban. Saat itu kami juga meminta supaya pada demo tanggal 22 Maret nanti DPRP turut ikut bersama kami menyampaikan aspirasi ke Gubenur Propinsi Papua. Permintaan terakhir ini disanggupi oleh para wakil rakyat.
Aspirasi rakyat dibacakan oleh selvius Bobii lalu diberikan kepada mama Yosepin Gewap untuk diserahkan kepada DPRP. Akhirnya, kami yang datang dari Abepura sekitar pukul 12.00 WPB dengan membawa beberapa spanduk sambil terik yel-yel supaya perekrutan MRP jilid II yang baru dihentikan, lalu membubarkan diri. Kami ke Jayapura dengan sejumlah truk yang dikawal ketat oleh aparat keamanan. 

Naftali Edoway

Selasa, 22 Maret 2011

OTONOMI KHUSUS DAN PEMEKARAN : BERAPA JUMLAH ORANG ASLI PAPUA?

Hasil penelitian dari Universitas Yale Amerika Serikat dan para peneliti di Australia telah menyimpulkan bahwa di Papua Barat sedang terjadi GENOSIDA (pembantaian etnis Papua), aktornya adalah TNI dan POLRI. Yang dapat menjadi bukti adalah pada tahun 1969 penduduk asli Papua Barat berjumlah  ± 8.000 jiwa dan PNG ± 6000 jiwa. Setelah rakyat Papua Barat bersama NKRI (45 tahun) penduduk asli Papua Barat  ± 1,5 juta jiwa sementara penduduk asli PNG berjumlah ± 7,5 juta jiwa. Para peneliti juga mengungkapkan bahwa antara tahun 1961-1969 Indonesia membantai orang asli Papua Barat ±10.000 jiwa.
Pembantai terhadap rakyat Papua Barat telah menjadi sebuah tradisi dan menjadi sebuah agenda terselubung pemerintah Indonesia. Ada dua pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yaitu pembantaian terang-terangan (operasi militer, dll) dan pembantaian terselubung/slow motions genosaid (melalui penculikan, pembunuhan, peracunan lewat makanan-minuman, mendatangkan WTS yang mengidap penyakit menular, penularan penyakit HIV/AIDS melalui praktek prostitusi, jarum suntik, tato, minuman keras,dll). Akibatnya populasi orang asli Papua semakin menurun.
Menurunnya jumlah orang asli Papua pun di akui oleh Gubernur Propinsi Papua, Barnabas Suebu SH, saat memberikan sambutan tertulisnya dalam acara Pelantikan Bupati Merauke pada 8 Januari 2011. Menurutnya ”Orang asli Papua akan terus menurun jumlahnya sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, khususnya migrasi masuk. Oleh karena itu pemekaran wilayah tidak boleh membuat orang asli Papua menjadi tersisih bahkan tercabut dari tanah leluhurnya sendiri”[1].   
Sementara itu laporan hasil sensus penduduk dari Propinsi Papua Barat tahun 2010 melaporkan bahwa jumlah Orang Asli Papua di propinsi itu berjumlah 51,67% dari total 760.000 jumlah penduduk Papua Barat. Itu artinya bahwa jumlah penduduk asli Papua dan non Papua adalah fifty-fifty. Tanda Sirait Kepala BPS Propinsi Papua Barat mengatakan bahwa BPS memakai enam kriteria dalam mendata jumlah orang asli Papua. Pertama, ayah dan ibu orang asli Papua. Kedua, ayah orang asli Papua ibu bukan. Ketiga, ibu orang asli Papua ayah bukan. Keempat, orang nonetnis Papua yang secara adat diakui masyarakat Papua sebagai orang asli Papua. Kelima, orang nonetnis Papua yang diangkat atau diakui secara marga dan keret. Keenam, orang yang berdomisili terus menerus di Papua selama lebih dari 35 tahun[2].
Terakhir melalui buku karangan Jim Elmslie yang berjudul “West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?” yang diterbitkan oleh University of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies menyebutkan bahwa jumlah orang asli Papua di Propinsi Papua dan Papua Barat hingga tahun 2010 mencapai 3,612,85641.
Dalam buku itu dilaporkan bahwa jumlah orang asli Papua pada tahun 1971 sebanyak 887,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405. Artinya pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%. Sementara itu jumlah penduduk non Papua tahun 1971 sebanyak 36.000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 708,425. Jadi presentase pertumbuhan penduduk non asli Papua pertahunnya 10.82%.
Hingga pertengahan tahun 2010 jumlah orang asli Papua mencapai 1,730.336 atau 47.89% sementara non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%. Diakhir tahun 2010 jumlahnya menjadi: a) Populasi orang asli Papua mencapai 1,760,557 atau 48.73%. b) Populasi non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%. Jadi jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854 atau 100%.
Jim Elmslie memperkirakan bahwa pada tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan akan mencapai 7,287,463 atau 100% dengan pembagian: jumlah orang asli Papua 2, 112,681 atau 28.99% dan jumlah non Papua 5,174,782 atau 71.01%. Itu mengindikasikan bahwa pertumbuhan jumlah orang asli Papua lambat dibandingkan non Papua. Apa  penyebabnya? Jim sendiri mengatakan bahwa selain masalah sosial dan pelanggaran HAM penyebab utamanya adalah migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar[3].
Walaupun ada fakta pengakuan dan penelitian diatas namun Kepala BPS Propinsi Papua Ir.J.A.Djarot Soetanto, MM membatahkan akan hal itu. Beliau mengatakan bahwa isu soal adanya genosaid atau pembasmian orang asli Papua secara terencana adalah tidak benar. Lanjutnya, presentase perbandingan jumlah orang asli Papua dan non Papua masih di dominasi oleh orang asli Papua. Jumlah penduduk Papua hasil sensus 2010 menunjukan 2.833.381 dimana orang asli Papua sebanyak 76% dan pendatang 24%.[4]  
Menurut keyakinan saya, jika orang asli Papua diperhadapkan pada pilihan, fakta mana yang mau diterima? maka pastilah mereka setujuh dengan pernyataan gubenur Papua, laporan BPS propinsi Papua Barat dan hasil analis oleh Jim Elmslie. Mengapa? 1) Orang asli Papua sudah terlanjur tidak percaya dengan pemerintahan di Papua yang lebih condong bekerja untuk kepentingan Pemerintah pusat. 2) Fakta dilapangan bahwa kematian orang asli Papua dari bayi sampai dewasa semakin tinggi di Papua setiap harinya. 3) Hampir setiap minggu orang asli Papua melihat banyak orang non Papua yang datang ke Papua melalui kapal laut dan pesawat terbang. 4) Sejarah integarasi Papua ke NKRI yang dinilai tidak adil oleh orang asli Papua. 5) Perhatian kepada kesejaterahan hidup orang asli Papua diabaikan selama ini, sehingga orang asli Papua tidak pernah bebas dari lilitan kemiskinan.
  Jika fakta hidup orang asli Papua seperti itu, kira-kira solusinya apa? Apakah otsus dan pemekaran bisa menjawab permasalahan itu? Apakah UP4B adalah obat untuk menyembuhkan penyakit diatas? Apakah dialog Papua-Jakarta yang dimediasi pihak ketiga adalah solusi? Saya sendiri berpikir bahwa orang asli Papua harus sadar bahwa kita ada dalam masalah besar. Kita ada pada situasi antara, hidup dan mati. Kita ada pada situasi yang terjepit. Kita harus merubah paradigma berpikir kita yang “kekinian”. Merasa puas dengan situasi yang ada hari ini. Mengganti sikap ego kita dengan sikap solidaritas. Kita harus keluar dari kotak primodialisme dan devide et impera yang diciptakan oleh orang lain guna menghancurkan “ke-Papua-an” kita. Sekali lagi kita harus sadar. Bangkit. Buka mata. Tidak terlena dalam kehancuran ini. Janganlah kita selalu menerima keadaan yang rusak ini sebagai “sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan”.
Marilah kita bekerja keras memperjuangkan masa depan kita. Masa depan anak cucu kita. Kitalah yang menentukan kapan dunia baru itu akan terwujud; atau kapan dunia baru itu akan dimulai[5]. Dengan bermasa bodoh kita dan dunia kita tidak akan berubah. Kita harus melepaskan juba tim sukses terhadap penderitaan kita sendiri dan mengganti juba baru, yakni juba siap juang bagi kebaikan masa depan. Kita semua punya talenta/karunia. Kelebihan-kelebihan yang Tuhan taruh dalam diri kita. Mari manfaatkan itu untuk maju selangka demi selangka. Marilah kita menjadi lilin-lilin kecil yang menerangi diri dan lingkungan disekitar kita. Minum dari sumur sendiri akan membuat kita tetap hidup dan sukses di tanah karunia Tuhan ini. Semoga! 

Naftali Edoway ( Departemen Perdamaian dan Keadilan Kingmi Papua)

[1] Papua Pos, 11 Januari 2011
[2] Kompas.com, selasa 11 Januari 2011
[3] http://sydney.edu.au/arts/peace conflict/docs/working papers/West Papua Demographics in 2010 Census.pdf
[4] Cenderawasih Pos, Rabu 02 Maret 2011
[5] Pdt.Benny Giay, Mari Memperjuangkan Pemulihan Negeri Ini. Deiyai.2008